Asal-usul Korupsi
Korupsi
sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya,
kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis
oleh banya ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh
Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai
korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral merujuk pada berbagai
bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa rezim
termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum, tetapi
tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.
Korupsi
berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian, muncul
dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda
Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi.
Alatas (1987), menandaskan esensi korupsi sebagai pencurian melalui
penipuan dalam situasi yang mengkhianati keperscayaan. Korupsi merupakan
perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode
pencurian dan penipuan. Titik penting yang ingin diletakkannya di sini,
juga mencakup dua bentuk korupsi yang sulit untuk dimasukkan dalam
kebanyakan peristilahan korupsi, yaitu nepotisme dan korupsi otogenik.
Sementara, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada,
“Pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini merupakan
definisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang
digambarkan dalam akronomi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Hafidhuddin
mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia
menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau
perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan
melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh,
disalib atau dipoting tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan
kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir.
Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan
yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-'adalah), akuntabilitas
(al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya
yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan
masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di
muka bumu, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.
Pengertian
al-fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang
menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti
membuat teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai dan
mengambil atau merampas harta orang lain. Berdasarkan pendapat tersebut,
Didin menegaskan bahwa “korupsi samaburuk dan jahatnya dengan
terorisme. Yang aneh, banya kalangan tidak menyadari seolah-olah korupsi
itu dianggap perbuatan kriminal biasa, bahkan sering dianggap perbuatan
yang wajar.
Bagi
Didin, ungkapan seperti ini sudah pasti harus ditolak dan dinafikan.
Karena, hanya dengan menolak korupsi sebagai perilaku kriminal biasa,
barulah perang terhadap korupsi dapat dilakukan senyaring dan sekeras
perang melawan terorisme. Antara terorisme dan korupsi, merupakan dua
entitas yang sangat membahayakan eksistensi serta keutuhan masyarakat
dan bangsa. Demikian pula bila seorang koruptor meninggal dunia,
seyogyanya jenasahnya tidak perlu dishalatkan oleh kaum muslim, sebelum
herta hasil korupsinya itu dijamin akan dikembalikan oleh ahli warisnya
kepada negara. Ha ini dianalogikan dengan orang yang meninggal dunia
dalam kedaan masih memiliki utang, yang tidak boleh dishalatkan sebelum
ada keluarga yang bersedia menjaminnya. Jika tidak, kelak di alam
kuburnya, pelaku tindak perkara korupsi akan terombang-ambing oleh
kejahatan korupsinya.
Mahzar
(2003), menandaskan istilah korupsi secara umum sebagai “berbagai
tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lelu menambahkan, bahwa
perkembanganya lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi, terdapat
penekanan yang dilakukan sejumlah ahli dalam mendefinisikan korupsi,
yakni “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan
pribadi.” Mahzar pun mencatat beberapa definisi korupsi yang paling
seringa digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi. Gagasan
yang diambil dari Philip (1997) ini, menyebutkan definisi korupsi
sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik
(public office-centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah
laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari
tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau
keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya
seperti keluarga, karib kerabat dan teman. Pengertian ini, juga mencakup
kolusi dan nopotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan
kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar